Selasa, 11 Januari 2011

Menggugat Kecenderungan Politik Kartel Indonesia

oleh Dwiki Setiyawan

Menggugat Politik Kartel dari kiri Burhanuddin Muhtadi, Kuskridho Ambardi, Ganjar Pranowo, Syamsuddin Haris dan Dradjat Wibowo (dwiki file)

SEMENJAK reformasi bergulir pasca kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, partai-partai politik di Indonesia cenderung membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan adanya lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni: (1) Hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) Sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) Tiadanya oposisi; (4) Hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) Kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima ciri tersebut, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.

Demikian gugatan yang dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskridho Ambardi, salah seorang narasumber, pada diskusi buku “Mengungkap Politik Kartel” di Grand Ballroom Hotel Kempinski Jakarta, Selasa siang (27/10). Diskusi buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) itu juga menghadirkan narasumber lainnya: Priy0 Budi Santoso (Wakil Ketua DPR-RI/Politisi Partai Golkar), Ganjar Pranowo (Wakil Ketua Komisi II DPR/Politisi PDI Perjuangan), Dradjat Wibowo (Politisi PAN), dan Syamsuddin Haris (Peneliti LIPI). Bertindak sebagai moderator, peneliti LSI Burhanuddin Muhtadi.

Lebih lanjut Kuskridho mengungkapkan, partai politik di Indonesia cenderung berkolusi ketimbang berkompetisi. Mereka membentuk sebuah kelompok yang memiliki kecenderungan untuk melayani diri sendiri dibandingkan secara individual mencoba mewakili beragam kepentingan kolektif yang ada di masyarakat.

“Kompetisi antar partai politik yang hadir dalam arena politik menghilang begitu partai politik memasuki arena pemerintahan (pembentukan kabinet) dan arena legislatif. Komitmen ideologis dan programatik partai memudar saat mereka membentuk koalisi pemerintahan,” papar Kuskridho yang meraih gelar Doktor Ilmu Politik dari The Ohio State University pada 2008 itu.

Untuk menguatkan argumen dimaksud, katanya, koalisi yang terbentuk pun tampil sebagai koalisi bongsor (oversized coalition) yang dibarengi dengan absennya partai politik yang menjalankan fungsi oposisi.

“Penyebabnya, partai-partai tersebut secara kolektif memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, yakni untuk membiayai kegiatan-kegiatan politiknya. Untuk keperluan memobilisasi dana politik itulah mereka secara bersama melakukan kolonisasi terhadap kabinet pemerintahan dan kepemimpinan DPR karena posisi-posisi itu menyediakan rente ekonomi,” tandas pengajar Fisipol UGM tersebut.

Sementara itu, Peneliti LIPI Syamsuddin Haris, menguatkan temuan-temuan mencengangkan dari buku yang berasal dari disertasi doktor Kuskridho Ambardi tersebut. Menurut Syamsuddin, gejala kartel terjadi di semua lini kehidupan politik. Hal yang demikian semakin diperparah oleh sikap masyarakat yang pragmatis. Karenanya mau tidak mau dan suka atau tidak suka, partai politik pun dituntut untuk menyediakan dana-dana politik dari kegiatan rente ekonomi.

Syamsuddin juga mengakui, pendanaan politik dari partai-partai yang ada menunjukkan gejala tidak sehat. Dan sumbernya pun berasal dari kalangan-kalangan terbatas. “Berpolitik memang memerlukan dana besar. Namun perlu juga dibarengi bahwa dana politik itu sumbernya bersih. Bukan sumber abu-abu dan hitam.”

Dikatakannya pula, di Indonesia ini politik belum dimaknai sebagai pengabdian. Namun oleh beberapa kalangan dijadikan batu loncatan untuk mendapatkan status lebih tinggi, sembari memupuk kapital yang lebih besar. “Saya akan kutip kata-kata Bung Hatta bahwa jangan sampai terjadi partai politik menjadi tujuan, sedangkan negara hanya menjadi alatnya” ujarnya mengingatkan. (DSK: Dwiki Setiyawan Kompasiana)




http://dwikisetiyawan.wordpress.com/2009/10/27/menggugat-kecenderungan-politik-kartel-indonesia/

Kembalinya Politik Kartel

Ditulis oleh Gun Gun Heryanto

Dinamisasi politik terus menimbulkan riakan-riakan opini publik.Berbagai kasus sambungmenyambung seolah menjadi penanda bahwa fase turbulensi belum usai.Polemik terakhir terkait dengan pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi yang telah menahbiskan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai ketua harian.

Ada tiga hal yang menyebabkan polemik itu mencuat.Pertama, momentum pembentukan Setgab yang persis dilakukan pasca pengunduran diri Sri Mulyani Indrawati dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan.Kedua, terkait dengan skeptisme publik atas posisi penyelesaian akhir kasus Century.Ketiga, bergulirnya kekhawatiran terhadap pembentukan Setgab yang sangat mungkin menguatkan kembali politik kartel di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dalam perspektif komunikasi politik, momentum adalah pesan politik itu sendiri.Saat elite memainkan the game of words dengan menyatakan seribu kata manis dan saling mengapresiasi lawan politiknya, substansi pertarungan sesungguhnya dapat kita temukan di momentum yang menjadi setting tindakan aktor.

Pengunduran diri Sri Mulyani yang penuh puja-puji mulai dari SBY hingga elite partai yang kerap berseberangan hanyalah realitas semu yang disebarkan melalui realitas simbolik media massa.Sejumlah permainan kata-kata tersebut, misalnya, menyebut Sri Mulyani Srikandi yang akan mengharumkan negeri , sesungguhnya apa realitas di balik itu?Berbagai indikasi kuat menunjukkan momentum pengunduran diri Sri Mulyani ini semacam altar pengorbanan.

Siapa yang paling diuntungkan? Golkar dan Ical.Sudah bukan rahasia lagi jika hubungan Sri Mulyai dan Ical kerap bermasalah, terutama saat Sri Mulyani mengutak-atik soal pajak bisnis Ical.Polemik yang mencuat di media massa itu cukup menjadi penunjuk ke mana langkah Ical dengan mesin Golkarnya akan mengarah.Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan banyak pihak mengenai motivasi utama Partai Golkar yang turut naik dalam perahu opsi C. Momentum Hak Angket Pansus Century benar-benar sukses menjadi momentum reality show kepiawaian Golkar bermain bola billiard.Hasilnya, Sri Mulyani pun harus rela mundur teratur dengan skenario jalan tengah yang seolah-olah terhormat untuk berkantor di Washington DC.

Drama belum berakhir, ibarat pepatah habis Sri Mulyani mengundurkan diri, terbitlah Setgab.Oleh karenanya, teramat sulit logika kita membantah, keterhubungan prosesi pengunduran diri Sri Mulyani dengan zona of possible agreement yang disepakati antara elite Golkar.Terlebih, Ical pun melenggang ke puncak hierarki Setgab bersama-sama SBY. Posisi sebagai Ketua Harian sangat strategis dalam mewarnai dan menentukan arah pemerintahan SBY ke depan.

Penyelesaian Century
Imbas dari bersepakatnya para elite, terutama yang tergabung dalam mitra koalisi, dalam zona of possible agreement melalui setgab ini bukan tanpa konsekuensi.Sulit ditepis bahwa salah satu variabel utama yang menjadi alat bargaining elite di balik kelahiran Setgab adalah prahara Century.

Tentu , SBY mengevaluasi satu masalah besar yang membuat tersendatnya laju perahu Kabinet Indonesia Bersatu II adalah ganjalan kasus Century.Peran antagonis oposisional yang ditiupkan oleh PDIP selaku partai di luar pemerintahan, dengan sigap disambut beberapa partai koalisi.Golkar dan PKS menjadi partai koalisi yang paling eksplosif menjadikan kasus Century sebagai tekanan. Hasilnya, opsi C pun diraih, dan bola panas lantas dilempar ke KPK.Liputan media massa yang masif, telah memberi pencitraan positif bahwa mereka yang berkoalisi pun atas nama kepentingan rakyat tetap dapat bersuara lantang.

Saat itu, para elite Golkar menyatakan koalisi tak menghalangi sikap kritis Partai Golkar jika ada penyelewengan yang merugikan rakyat.Tinggallah Partai Demokrat yang terpojok, seolah ragu meramu mitra koalisi yang mulai keropos. Lagilagi, Century menjadi alat ampuh untuk ditabuh. Bisingnya tabuhan pun menelan korban, Sri Mulyani mengundurkan diri. Seiring pengunduran diri Sri Mulyani, sikap Golkar pun mulai senyap dan kian menepi untuk tak lagi menabuh kasus Century di tengah gelanggang.

Kartelisasi Politik
Stabilitas politik bagimanapun memang dibutuhkan.Oleh karenanya , demi stabilitas inilah maka infrastruktur yang mapan menjadi sebuah keniscayaan.Jika kita runut, berbagai persoalan krusial bangsa ini mengemuka dan menjadi prahara karena ketidakjelasan pelembagaan politik. Misalnya ketidakjelasan sistem presidensial yang menjadi pilihan. SBY harus melakukan politik akomodasi terhadap berbagai kekuatan politik yang ada di sekitarnya. Pilihan koalisi besar pun pada akhirnya tidak efektif, misalnya saat kasus Century bergulir dan menjadi bola liar.

Kemasan argumentasi yang dikemukakan untuk menjawab skeptisme publik atas pembentukan Setgab juga merujuk pada alasan kebutuhan infrastruktur yang mapan.Tentu, argumentasi tersebut tampak relevan, karena kenyataannya memang pelembagaan koalisi dibutuhkan untuk menjamin sebuah pemerintahan yang stabil. Namun, benarkah momentum pembentukan setgab ini karena cita-cita mulia untuk stabilitas pemerintahan yang manfaatnya akan dirasakan bangsa Indonesia?

Lagi-lagi, konteks di balik pembentukan Setgab itulah yang tak cukup meyakinkan logika kita menerima motif para elite. Jika memang pelembagaan koalisi itu dibutuhkan untuk menopang pemerintahan, seyogianya SBY dan elite pemimpin partai mitra koalisi melakukan hal ini sejak awal pemerintahan bergulir.Tidak seperti sekarang, Setgab muncul justru di episode yang sudah berdarah-darah hasil pertarungan para elite untuk memuluskan urusan politik who gets what when and how? Risikonya, persoalan-persoalan nyata pelanggaran yang telah mulai terbuka seperti kasus Century dan kasus pajak akan diselsaikan secara adat.

Dengan demikian, pembentukan Setgab juga berpotensi menguatkan kembali politik kartel.Pelembagaan koalisi bukan merujuk pada manfaatnya untuk rakyat tapi guna meminimalisasi persaingan politik atau bahkan meniadakan kompetitor.Politik dikuasai oleh segelintir elite sehingga melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda terbuka maupun tersembunyi dari elite-elite yang berada di puncak hierarki koalisi itu. Menurut Dan Slater dalam tulisannya Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition (2004), Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan situasi kolusi demokrasi (collusive democracy).

Jika Setgab ini lebih memintangkan agenda pragmatis para elite, maka sudah barang tentu politik kartel yang menyebabkan kolusi demokrasi ini akan kembali menguat.Oleh karenanya, kritisisme layak kita alamatkan ke Setgab ini, agar rakyat selaku pemilik mandat tak selalu berada dalam kesadaran palsu.***

Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, Jum’at 21 Mei 2010
Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/1462-kembalinya-politik-kartel.html