Perilaku penguasa seperti yang digambarkan oleh Sri Mulyani baru-baru ini sungguh mencemaskan. Para pejabat sering terlibat dalam konflik kepentingan. Mereka tak bisa memisahkan secara tegas kepentingan negara dari kepentingan bisnis keluarga atau kelompoknya. Inilah yang membuat perempuan cerdas itu kerap terjepit, dimusuhi, bahkan akhirnya “dipaksa” mundur dari kursi Menteri Keuangan.
Tekanan yang sulit dilawan itu merupakan buah kolaborasi para elite penguasa, juga pengusaha, yang bersekutu membentuk kartel politik. Sri Mulyani menyebut fenomena ini “kawin politik”. Banyak orang melihat, kekuatan mereka muncul antara lain dalam bentuk manuver politik menggelindingkan kasus penyelamatan Bank Century. Tapi, setelah kepentingan mereka terpenuhi, tekanan ini pun berhenti.
Lihatlah, misalnya, perilaku Partai Golkar. Partai yang begitu gencar menyoal kasus Century ini tiba-tiba menyatakan rela menyetop serangannya setelah Sri Mulyani mundur. Tak lama kemudian, ketua umumnya, Aburizal Bakrie, pun diangkat sebagai Ketua Harian Sekretariat Gabungan Partai Koalisi.
Manuver Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merangkul pemimpin partai politik terbesar kedua ini jelas mengarah pada pengkartelan politik. Merujuk pada David Slater (Geopolitics and the Postcolonial, 2004), kartel politik merupakan bentuk relasi antarelite politik yang dicirikan dengan kolusi antarelite. Ciri lain adalah minimnya kekuatan oposisi, dan terlindungnya para elite tersebut dari mekanisme akuntabilitas.
Dengan hanya menyisakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Gerindra sebagai oposisi, praktis Presiden Yudhoyono tak lagi khawatir akan adanya gangguan politik hingga pemerintahannya berakhir pada 2014. Tapi “poligami” politik ini amat berbahaya bagi demokrasi kita. Kekuasaan negara yang terlalu besar, seperti yang terjadi di zaman Orde Baru, bisa saja kembali. Pemerintahan, seperti yang dicemaskan Sri Mulyani, bahkan bisa jatuh ke tangan “penguasa-pengusaha”.
Masyarakat awam tentu tahu bahwa Grup Bakrie punya masalah pajak dalam jumlah tak sedikit. Penyelesaian kasus lumpur Lapindo sampai sekarang juga belum tuntas. Tampilnya Aburizal di posisi strategis dalam Sekretariat Gabungan Partai Koalisi, apalagi jika ia memiliki kewenangan memanggil menteri, jelas berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang mestinya dihindari. Jalannya pemerintahan harus bersih dari “transaksi” politik yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Praktek yang tak sehat seperti itu lazim terjadi pada era pemerintahan Soeharto. Masyarakat menyebutnya korupsi-kolusi-nepotisme. Gerakan mahasiswa 1998 kemudian menjungkirkan rezim yang tak bersih dari KKN itu. Jangan heran jika Yudhoyono pun bertekad memerangi kolusi antara kepentingan bisnis dan politik ketika ia berkuasa.
Hingga kini sebenarnya Presiden masih sering menyampaikan tentang bahaya praktek kotor itu bagi negara. Tapi sayangnya itu hanya sebatas wacana, karena tak ada langkah serius untuk memeranginya. Dengan terpentalnya Sri Mulyani, yang terjadi justru sebaliknya. Istana seolah semakin takluk kepada kekuatan yang membahayakan demokrasi sekaligus upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih itu.
http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2010/05/20/krn.20100520.200938.id.html