Ditulis oleh Gun Gun Heryanto
Dinamisasi politik terus menimbulkan riakan-riakan opini publik.Berbagai kasus sambungmenyambung seolah menjadi penanda bahwa fase turbulensi belum usai.Polemik terakhir terkait dengan pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi yang telah menahbiskan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai ketua harian.
Ada tiga hal yang menyebabkan polemik itu mencuat.Pertama, momentum pembentukan Setgab yang persis dilakukan pasca pengunduran diri Sri Mulyani Indrawati dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan.Kedua, terkait dengan skeptisme publik atas posisi penyelesaian akhir kasus Century.Ketiga, bergulirnya kekhawatiran terhadap pembentukan Setgab yang sangat mungkin menguatkan kembali politik kartel di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dalam perspektif komunikasi politik, momentum adalah pesan politik itu sendiri.Saat elite memainkan the game of words dengan menyatakan seribu kata manis dan saling mengapresiasi lawan politiknya, substansi pertarungan sesungguhnya dapat kita temukan di momentum yang menjadi setting tindakan aktor.
Pengunduran diri Sri Mulyani yang penuh puja-puji mulai dari SBY hingga elite partai yang kerap berseberangan hanyalah realitas semu yang disebarkan melalui realitas simbolik media massa.Sejumlah permainan kata-kata tersebut, misalnya, menyebut Sri Mulyani Srikandi yang akan mengharumkan negeri , sesungguhnya apa realitas di balik itu?Berbagai indikasi kuat menunjukkan momentum pengunduran diri Sri Mulyani ini semacam altar pengorbanan.
Siapa yang paling diuntungkan? Golkar dan Ical.Sudah bukan rahasia lagi jika hubungan Sri Mulyai dan Ical kerap bermasalah, terutama saat Sri Mulyani mengutak-atik soal pajak bisnis Ical.Polemik yang mencuat di media massa itu cukup menjadi penunjuk ke mana langkah Ical dengan mesin Golkarnya akan mengarah.Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan banyak pihak mengenai motivasi utama Partai Golkar yang turut naik dalam perahu opsi C. Momentum Hak Angket Pansus Century benar-benar sukses menjadi momentum reality show kepiawaian Golkar bermain bola billiard.Hasilnya, Sri Mulyani pun harus rela mundur teratur dengan skenario jalan tengah yang seolah-olah terhormat untuk berkantor di Washington DC.
Drama belum berakhir, ibarat pepatah habis Sri Mulyani mengundurkan diri, terbitlah Setgab.Oleh karenanya, teramat sulit logika kita membantah, keterhubungan prosesi pengunduran diri Sri Mulyani dengan zona of possible agreement yang disepakati antara elite Golkar.Terlebih, Ical pun melenggang ke puncak hierarki Setgab bersama-sama SBY. Posisi sebagai Ketua Harian sangat strategis dalam mewarnai dan menentukan arah pemerintahan SBY ke depan.
Penyelesaian Century
Imbas dari bersepakatnya para elite, terutama yang tergabung dalam mitra koalisi, dalam zona of possible agreement melalui setgab ini bukan tanpa konsekuensi.Sulit ditepis bahwa salah satu variabel utama yang menjadi alat bargaining elite di balik kelahiran Setgab adalah prahara Century.
Tentu , SBY mengevaluasi satu masalah besar yang membuat tersendatnya laju perahu Kabinet Indonesia Bersatu II adalah ganjalan kasus Century.Peran antagonis oposisional yang ditiupkan oleh PDIP selaku partai di luar pemerintahan, dengan sigap disambut beberapa partai koalisi.Golkar dan PKS menjadi partai koalisi yang paling eksplosif menjadikan kasus Century sebagai tekanan. Hasilnya, opsi C pun diraih, dan bola panas lantas dilempar ke KPK.Liputan media massa yang masif, telah memberi pencitraan positif bahwa mereka yang berkoalisi pun atas nama kepentingan rakyat tetap dapat bersuara lantang.
Saat itu, para elite Golkar menyatakan koalisi tak menghalangi sikap kritis Partai Golkar jika ada penyelewengan yang merugikan rakyat.Tinggallah Partai Demokrat yang terpojok, seolah ragu meramu mitra koalisi yang mulai keropos. Lagilagi, Century menjadi alat ampuh untuk ditabuh. Bisingnya tabuhan pun menelan korban, Sri Mulyani mengundurkan diri. Seiring pengunduran diri Sri Mulyani, sikap Golkar pun mulai senyap dan kian menepi untuk tak lagi menabuh kasus Century di tengah gelanggang.
Kartelisasi Politik
Stabilitas politik bagimanapun memang dibutuhkan.Oleh karenanya , demi stabilitas inilah maka infrastruktur yang mapan menjadi sebuah keniscayaan.Jika kita runut, berbagai persoalan krusial bangsa ini mengemuka dan menjadi prahara karena ketidakjelasan pelembagaan politik. Misalnya ketidakjelasan sistem presidensial yang menjadi pilihan. SBY harus melakukan politik akomodasi terhadap berbagai kekuatan politik yang ada di sekitarnya. Pilihan koalisi besar pun pada akhirnya tidak efektif, misalnya saat kasus Century bergulir dan menjadi bola liar.
Kemasan argumentasi yang dikemukakan untuk menjawab skeptisme publik atas pembentukan Setgab juga merujuk pada alasan kebutuhan infrastruktur yang mapan.Tentu, argumentasi tersebut tampak relevan, karena kenyataannya memang pelembagaan koalisi dibutuhkan untuk menjamin sebuah pemerintahan yang stabil. Namun, benarkah momentum pembentukan setgab ini karena cita-cita mulia untuk stabilitas pemerintahan yang manfaatnya akan dirasakan bangsa Indonesia?
Lagi-lagi, konteks di balik pembentukan Setgab itulah yang tak cukup meyakinkan logika kita menerima motif para elite. Jika memang pelembagaan koalisi itu dibutuhkan untuk menopang pemerintahan, seyogianya SBY dan elite pemimpin partai mitra koalisi melakukan hal ini sejak awal pemerintahan bergulir.Tidak seperti sekarang, Setgab muncul justru di episode yang sudah berdarah-darah hasil pertarungan para elite untuk memuluskan urusan politik who gets what when and how? Risikonya, persoalan-persoalan nyata pelanggaran yang telah mulai terbuka seperti kasus Century dan kasus pajak akan diselsaikan secara adat.
Dengan demikian, pembentukan Setgab juga berpotensi menguatkan kembali politik kartel.Pelembagaan koalisi bukan merujuk pada manfaatnya untuk rakyat tapi guna meminimalisasi persaingan politik atau bahkan meniadakan kompetitor.Politik dikuasai oleh segelintir elite sehingga melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda terbuka maupun tersembunyi dari elite-elite yang berada di puncak hierarki koalisi itu. Menurut Dan Slater dalam tulisannya Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition (2004), Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan situasi kolusi demokrasi (collusive democracy).
Jika Setgab ini lebih memintangkan agenda pragmatis para elite, maka sudah barang tentu politik kartel yang menyebabkan kolusi demokrasi ini akan kembali menguat.Oleh karenanya, kritisisme layak kita alamatkan ke Setgab ini, agar rakyat selaku pemilik mandat tak selalu berada dalam kesadaran palsu.***
Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, Jum’at 21 Mei 2010
Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/1462-kembalinya-politik-kartel.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar