I. PENDAHULUAN
Persoalan kenabian memang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw bahkan relevansinya dipertanyakan, dalam kurun waktu yang lama persoalan tersebut tidak kunjung reda sampai pada hal-hal yang seharusnya tidak boleh diotak-atik oleh manusia tetapi tetap dengan keserakahannya masih dilaksanakan. Kami disini mencoba membahas persoalan kenabian yang sebenarnya sudah basi tetapi tetap menjadi polemik dewasa ini, terutama kami fokuskan persoalan tersebut dari sudut pandang Al-Farabi dan sedikit penjelasan yang menentangnya. Mungkin akan lebih optimal dalam memahami pemikiran Al-Farabi khususnya tentang persoalan kenabian ketika dilihat dalam pembahasan kali ini.
II. PEMBAHSAN
Posisi wahyu dalam Islam sangatlah sentral, tak seorangpun yang mampu membantah kenyataan ini. Berdasarkan kondisi historis maupun normatif, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasar relasi antar manusia dengan realitas transenden yang diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi Ilahiyyah antara manusia dengan Tuhannya.
Adapun pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi.
Pandangn Al-Farabi
Filosof dan Nabi/Rosul mendapat pengetahuan dari sumber yang satu yaitu akal kesepuluh, maka pengetahuan filsafat dan wahyu yang diterima Nabi tidak bisa bertentangan. Akal kesepuluh itu disamakan dengan Malaikat dalam Islam. untuk dapat berkomunikasi dengan akal kesepuluh para filosof menggunakan akalnya sedangkan Nabi menggunakan imajinasi dengan tujuan agar dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh pancaindra dan dari tuntutan-tuntutan badan sehingga ia dapat memusatkan perhatian dan menjadikan hubungan dengan akal kesepuluh.
Dalam perkembangannya terdapat tiga persoalan masalah kenabian :
1. Keraguan dalam soal kenabian didalam Islam
Kaum muslimin dalam kehidupan masyarakatnya, berbaur dengan unsur asing yang banyak menyembuhkan racun dikalangan mereka meskipun mereka tidak meninggalkan sama sekali prinsip agama Islam, tetapi mereka meletakkannya sebagai posisi kritik, keraguan, dan penyesatan.
2. Sikap Al-Farabi terhadap keraguan dan pengingkaran kenabian
Melihat ada keraguan dan pengingkaran kenabian, Al-Farabi menanggapinya bahwa manusia mempunyai hubungan dengan akal kesepuluh melalui jalan imajinasi dan keadaan ini berlaku bagi para Nabi, semua ilham dan wahyu yang disampaikan pada kita merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
Imajinasi erat hubungannya dengan kecondongan dan perasaan dan ada pengaruhnya pada gerak pikiran dan kemauan serta mengarahkan pada arah tertentu. Jadi menurut Al-Farabi Nabi dan Filosof adalah dua pribadi shaleh yang akan memimpin Negeri utama, dimana keduanya dapat berhubungan dengan akal kesepuluh yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan Negeri itu.
Akan tetapi analisa Al-Farabi mendapat kritikan dari A. Hanafi, M.A yang mengemukakan :
o Teori Al-Farabi telah menempatkan Nabi dibawah Filosof karena pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran lebih tinggi daripada yang diperoleh melalui imajinasi.
o Apabila seorang Nabi dapat berhubungan dengan akal kesepuluh melalui pikiran dan renungan maka artinya kenabian menjadi semacam ilmu pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang atau menjadi perkara yang bisa dicari.
o Tafsiran psikologis terhadap wahyu banyak berlawanan dengan Nas-nas Al-Qur’an.
3. Pengaruh teori kenabian Al-Farabi
Teori ini mula-mula berpengaruh pada Ibn Sina yang secara ikhlas dan memaparkan dalam bentuk yang benar-benar mirip dengan apa yang dikatakan Al-Farabi, kemudian Ibn Rusyd yang juga mendukung dan tidak memprotes apa yang dikatakan dalam masalah kenabian dari sudut pandang Al-Farabi, begitu juga aliran Mu’tazilah yang mengangkat akal diatas agama lantas kemudian aliran Asy’ariyyah.
Adapun sumber dan pendorong atas kepercayaan Al-Farabi ini berasal dari problematika wahyu yang telah berkobar didunia Arab. Sejak Nabi Muhammad memulai dakwahnya, Al-Farabi meyakini bahwa teori Islam tentang wahyu dan cara-cara untuk meraihnya adalah mudah dan jelas. Karena malaikat yang menjadi penghubung antara Nabi dan Tuhannya kecuali pada Mi’raj.
Sebelum memulai dakwahnya Muhammad pernah bermimpi yang menunjukkan urgensi sebagai khas kenabiannya dan sebagai berita gembira bahwa akan mengemban risalah :” mimpi yang benar adalah sebagian dari 46 bagian kenabian”. Dan didalam Al-Qur’an terdapat satu surat yang secara sempurna menjelaskan tentang mimpi dan pengaruhnya didalam menerima berita ghaib, yaitu surat Yusuf.
Begitu juga dalam kitab Injil, nama Nabi Muhammad saw sebagai bukti tentang kenabian beliau. Sekelompok orang Kristen yang shaleh menerima hal itu. Setiap kali membaca Injil dan setiap kali sampai pada kalimat yang memuat penjelasan tentang Muhammad, mereka akan menundukkan kepala. Menghormati beliau dan mencium tulisan namanya. Demikian, mereka terbebaskan dari segala macam penderitaan dan duka. Sebaliknya mereka yang mencela nama Muhammad selalu menderita. Demikian mulianya Muhammad atas kenabiannya.
III. PENUTUP
Demikianlah, mudah-mudahan persoalan kenabian yang telah kita bahas bersama dapat membawa manfaat bagi kita khususnya ketika mencari sebuah kebenaran dalam kemajemukan. Sebenarnya persoalan tersebut sudah basi tetapi masih relevan untuk dibicarakan terutama dikalangan Kampus guna menggapai keyakinan yang sempurna.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Anand Krishna, Masnawi : Bersama Jalaluddin Rumi Menggapai Langit Biru Tak Berbingkai. Jakarta :Gramedia Pustaka, 2001
Ahmad Mustafa, Filsafat Islam : Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Usuluddin Komponen MKDK.Bandung : Pustaka Setia, 1997
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta :Bulan Bintang,1907
Ibrahim Mazdkour, Filsafat Islam : Metode dan PenerapanJakarta : Rajawali Press, 1991
Pradana Boy ZTF, Islam Dialektis Membendung Dogmatisme Menuju Liberalisme, Malang : UMM Pres, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar